Alfons, Ahli Waris Sah Lahan RSUD Dr. Haulussy Dorong KPK Usut Kasus Dugaan korupsi Pembayaran Ganti Rugi RSUD
CM, AMBON
Menyusul aksi Ormas Maluku Satu Rasa, Salam Sarane Bersatu (M1R-SSB) yang mendesak KPK untuk segera Periksa Pemprov Maluku yang diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi Atas Pembayaran Ganti Rugi Tanah RSUD Haulussy Ambon Senin (11/12/2023).
Hal mana dalam aksi tersebut, M1R SSB meminta agar KPK segera untuk turun langsung memeriksa oknum pejabat Pemprov Maluku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi pada anggaran yang sudah disepakati antara Pemprov Maluku dengan Ahli Waris Yohannes Tisera, maka ahli waris sah, Evans Reynold Alfons mengatakan dirinya perlu menyampaikan bahwa terkait dengan proses demo yang sudah dilakukan kemarin oleh M1R-SSB dengan mengatasnamakan saudara Yohanes Tisera yang disebut dalam demo selaku ahli waris yang wajib menerima ganti rugi RSUD dirinya terkesan sangat kaget karena demonya dilakukan oleh M1R yang mengatasnamakan Yohanes Tisera.
Oleh sebab itu, Alfons bertanya apakah Yohanes TIsera ini tidak paham bahwa proses pembayaran yang dilakukan oleh Pemda Maluku terhadap dirinya yang sudah tiga kali, yakni: pembayaran tahap 1 itu di tanggal 19 Februari 2019 berjumlah 10 miliar dan saat itu yang melakukan pembayaran itu pejabat kepala daerah Maluku lewat instruksi dari mantan gubernur Maluku saat itu Said Assagaff, kemudian tahap 2 sebanyak 3 miliar yang dilakukan pada tahun 2020 dan di tahun 2021 terjadi pembayaran ketiga sebanyak 5 miliar 329 juta.
Dengan demikian total pembayaran kepada Yohanes Tisera itu sudah sebanyak 18 miliar 329 juta.
"Nah hal ini kan aneh kalau seumpamanya Yohanes Tisera menuduh bahwa pemerintah daerah Maluku telah melakukan korupsi, maka korupsi yang dilakukan pemerintah daerah untuk memperkaya siapa? itu kan anehnya di situ, kan berarti yang melakukan korupsi bukan memperkayakan pemerintah daerah tetapi memperkaya Yohanes Tisera karena dia yang menikmati hasil uang korupsi dengan dasar putusan yang menurut saya putusan yang tidak bisa dieksekusi, yaitu putusan nomor 38 junto keputusan nomor 18 junto 3485 Kasazi dan junto perkara 5 12 PK itu kan sifat dari keputusan itu adalah putusan deklaratif, boleh ditanya ke pengadilan apakah putusan deklarator itu dapat dilakukan eksekusi? kan tidak! berarti pembayaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah benar dapat digolongkan itu tindak pidana korupsi. Tapi korupsinya ke mana ? Apakah memperkaya pribadi pemerintah daerah tapi ini memperkaya pribadi oknum yang mengotaki aksi demo, dalam hal ini Yohanes Tisera" ujar Alfons seraya menambahkan bagi dirinya, hal yang fatal yang perlu juga ditelusuri lewat pemerintah daerah dan juga dengan DPRD provinsi Maluku, dalam hal ini untuk segera mengatasi masalah ini karena ini menjadi rancu terhadap pengetahuan publik.
Menurut Alfons kepada wartawan di kediamannya, Rabu, 13/12/2023, masyarakat kota Ambon mengetahui bahwa yang dipakai pemerintah untuk melakukan pembayaran itu adalah uang negara sehingg wajib dipertanggungjawabkan dan bagi dirinya masalah ini kalau diikuti dan diatur oleh KPK maka sangat bagus supaya jelas apa adanya sehingga pembayaran yang sudah mencapai 18 miliar itu wajib dipertanggungjawabkan oleh Yohanes Tisera, dan bukan oleh pemerintah daerah.
Kendati demikian, Alfons mengakui memang jika ditelusuri lebih jauh, nampak terlihat bahwa itu kesalahan pemerintah Daerah yang tanpa mendapat perintah eksekusi dari pengadilan tetapi melakukan pembayaran kepada pihak yang salah.
Alfons juga menyebut kalau kesepakatan yang terjadi di Notaris sebagaimana disebutkan, juga aneh karena dalam perkara 62 pihak yang kalah itu Yohanes Tisera, Julianus Wattimena dan 10 orang keluarga Wattimena, kemudian Badan Pertanahan kota Ambon, Rostiaty Nahumarury dan juga Toni Kusdianto.
Lebih jauh Alfons mengingatkan bahwa dalam amar putusan perkara 62 menyatakan bahwa surat tanggal 28 Desember 1976 adalah surat yang cacat hukum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.(CM-EP)