POLDA Maluku Diminta Terbitkan SP3 Kasus, Tukar Guling Tanah Dan Bangunan Antara Pemda Provinsi Maluku Dengan Yayasan Pendidikan POITEK

CM, AMBON

Konperensi pers oleh Yayasan POITEK diwakili Rudy Mahulette, MH selaku Wakil  Ketua Yayasan, menyikapi polemik berkaitan dengan dugaan kerugian daerah Maluku yang sementara disidik oleh Polda Maluku, dengan terperiksa mantan Gubernur Maluku, Mantan Ketua DPRD Provinsi dan lainnya, berkaitan dengan perjanjian tukar-menukar (tukar guling) lahan dan bangunan milik Pemerintah Provinsi Maluku dengan tanah milik Yayasan Pendidikan POITEK. Kamis, 13/10/22. 

Mahulette mendesak untuk menerbitkan SP3 oleh Polda Maluku terhadap kasus tersebut, oleh karena tidak ada perbuatan melawan hukum, tidak ada kerugian Negara/daerah, dan tidak upaya memperkaya diri sendiri atau kelompok yang menjadi unsur-unsur pasal tindak pidana korupsi.

Dijelaskannya, UU No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, memberikan pengertian tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang memenuhi unsur-unsur seperti perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana memperkaya diri sendiri, memperkaya orang lain atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Untuk menentukan ada kerugian Negara/daerah, pihak kepolisian tidak memiliki kewenangan untuk menentukannya, sebagaimana juga Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah namun lembaga-lembaga tersebut tidak memiliki kewenangan untuk mendelair adanya kerugian daerah/Negara. 

Dikatakan, sesuai ketentuan perundang-undangan, maka lembaga yang berkewenangan menentukan kerugian daerah/Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan, sebagaimana pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 4 Tahun 2016, pada point 6, secara jelas menentukan bahwa "Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan”. Juga, UU No. 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Pasal 10 ayat (1) UU tersebut secara tegas menentukan bahwa “BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan Negara”. Sehubungan dengan ketentuan-ketentuan dimaksud, maka terhadap perjanjian tukar guling antara Pemerintah Provinsi Maluku dengan Yayasan Pendidikan POITEK Ambon, BPK Provinsi Maluku telah melakukan pemeriksaan, dan tidak ditemukan adanya kerugian Negara/daerah pada perjanjian tukar guling tersebut. 

Untuk itu pada tanggal 10 Oktober 2022, Yayasan Pendidikan POITEK telah mengirim surat No. 02/10/YYS/Pendidikan POITEK AMB/22, perihal Permintaan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Berdasarkan surat Yayasan tersebut, maka pada tanggal 11 Oktober 2022 BPK RI Perwakilan Provinsi Maluku telah memberikan Hasil Laporan Pemeriksaan BPK dengan No. 01.A/HP/XIX.AMB/05/2018 tanggal 25 Mei 2018. Kenyataannya LHP baik melalui penjelasan maupun isi dari LHP BPK dimaksud secara jelas dan tegas menyatakan tidak ada kerugian keuangan negara/daerah, hanya menyatakan pada ada (a). Indikasi kerugian daerah sebesar Rp. 1.147.886.000, (b). Potensi kerugian daerah dari kekurangan penilaian tanah berdasarkan NJOP sebesar Rp. 3.250.967.000. Penggunaan kata “indkasi” dan “potensi”, bukan berarti telah ada kerugian Negara/daerah. Kata-kata tersebut, digunakan oleh karena bila kemudian tanah dan bangunan milik Pemda Provinsi Maluku yang telah menjadi tanah dan bangunan milik Yayasan Pendidikan POITEK tersebut, telah diserahkan oleh Pemda Provinsi Maluku dan telah dimanfaatkan oleh Yayasan POITEK, namun Yayasan POITEK tidak melakukan tanggung jawabnya, pada saat itulah kata indikasi dan kata potensi itu menjadi hilang dan yang tinggal hanyalah anak kalimat “terdapat kerugian Negara/daerah”. Kerugian Negara/daerah itu belum ada oleh karena Dinas Perpustakaan Pemerintah Provinsi Maluku masih menggunakan tanah dan bangunan yang telah menjadi milik Yayasan tersebut.

Berkaitan dengan sudah dilakukan balik nama dari nama Pemerintah Provinsi Maluku menjadi atas nama Yayasan POITEK pada sertifikat Hak Milik atas tanah, Rudy Mahulette menjelaskan bahwa, walaupun telah dilakukan balik nama, namun belum ada penyerahan hak, sehingga tanah dan bangunan tersebut belum dimafaatkan oleh Yayasan, juga walaupun sudah dilakukan balik nama, bukan berarti telah ada kerugian Negara/daerah, oleh karena sertifikat tersebut, tidak termasuk sebagai surat berharga sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 22 UU No 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara ditegaskan bahwa "Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai". Dengan demikian sesuai pasal tersebut diatas kerugian keuangan negara harus dibuktikan dengan adanya kehilangan uang, surat berharga, dan barang. Menjadi pertanyaan, Apakah sertifikat tanah yang diserahkan kepada Yayasan Pendidikan POITEK termasuk dalam Surat Berharga? Sesuai KUH Dagang (KUHD) dalam buku I titel 6 dan 7, menyatakan macam- macam surat berharga antar lain: wesel, cek, kwitansi dan surat sanggup. Ada juga surat berharga di luar KUHD tersebut yaitu Bilyet GIRO (BG), Kart Kredit, travels cheque, obligasi, surat saham, bilyet deposito, surat utang negara, dan surat berharga lain yang sudah ditentukan nilainya. Sehingga syarat untuk dinyatakan sebagai Surat Berharga yaitu harus memiliki nilai uang, sebagaimana defenisinya, Surat Berharga yaitu Dokumen yang memiliki nilai uang yang diakui dan dilindungi oleh hukum untuk kepentingan transaksi perdagangan, pembayaran, penagihan atau sejenis lainnya. Dalam buku sertifikat tanah tidak mencantumkan nilai uang, dengan demikian buku sertifikat tidak termasuk Surat Berharga, tetapi bukti kepemilikan atas tanah dan bangunan yang nilai manfaatnya baru ada bila menyatu dengan objek yaitu tanah dan bangunannya. Intinya, surat berharga adalah surat yang isinya telah menentukan nilai uangnya. Dengan demikian, sertifikat tidak termasuk surat berharga.

Mungkin saja, Polda Maluku berpegang pada pasal 2 ayat (1) menyatakan “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Namun dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 tanggal 5 Desember 2016, yang telah menyatakan bahwa frasa "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU NO. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan adanya putusan MK tersebut,sudah seharusnya Polda Maluku tidak melakukan pemeriksaan terhadap seseorang, bila ada indikasi “dapat” namun benar-benar bila sudah ada kerugian daerah/Negara melalui hasil pemeriksaan BPK. Sehingga Polda Maluku mesti menerbitkan SP3 berkaitan dengan perjanjian tukar guling dimaksud. Demikian penegasan Rudy Mahulete, MH (ET)